Secara bersamaan, sejumlah aktivis gerakan reformasi 1998 ikut masuk
arena. Mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), Faisol Reza,
merupakan salah satu nama yang muncul. Selain itu, Adian Napitupulu,
mantan Koordinator Forum Kota, ikut mewarnai bursa pencalegan (Tempo.co,
18/5). Tidak ketinggalan beberapa aktivis hak asasi manusia, seperti
Agung Putri dan Yulianti Ratnaningsih, mencoba mengikuti jejak
keberhasilan Budiman Sudjatmiko yang sukses melenggang ke Senayan dalam
Pemilu 2009 (Thejakartapost.com, 23/4).
Dibanding para selebritas dan pebisnis, keterlibatan para aktivis
dalam kompetisi sejatinya lebih menjanjikan bagi publik. Jiwa aktivisme
yang saat ini tengah loyo dibutuhkan untuk mengangkat kinerja dan citra
buruk DPR. Pengalaman dan idealisme mereka saat menggunakan
protes-protes publik untuk menggerakkan reformasi 1998 merupakan modal
penting. Para mantan pemrotes ini berharap mengembalikan cita-cita
reformasi menuju rel yang benar.
Partai-partai pun boleh saja berargumen dalam mendorong
pencalegan para aktivis. Hanya, pemilu dan kursi DPR bukan merupakan
perkara mudah bagi mereka. Para aktivis mesti berhadapan dengan sejumlah
hambatan institusional yang bisa menegasikan atau bahkan merusak
cita-cita mereka untuk mengubah kinerja jelek parlemen.
Pada awal perjuangan, para caleg aktivis harus bertarung dalam
situasi pemilih yang berorientasi populisme dan materialisme.
Kecenderungan perilaku praktis para pemilih seperti itu kurang memberi
toleransi bagi para aktivis yang kurang populer dan tidak kaya. Di satu
sisi, mereka harus tetap idealis dengan mempromosikan tawaran-tawaran
visioner kepada pemilih. Di sisi lain, strategi-strategi politik gentong
babi (pork-barrel) yang dijalankan para pesaing lain cukup berhasil
mempengaruhi para pemilih untuk menggadaikan suaranya. Tentunya, bukan
pekerjaan mudah bagi para caleg aktivis dalam mengkompromikan dua
situasi berlawanan tersebut.
Seandainya mereka sukses meraih kursi, DPR secara institusi
ternyata tidak hanya menyediakan insentif bagi para aktivis untuk
mewujudkan idealisme mereka. Namun parlemen juga akan menciptakan
sejumlah hambatan yang bisa menghadang para legislator aktivis dalam
mereformasi DPR. Meminjam premis new institutionalism, bahwa
determinisme institusi akan memberikan panduan perilaku yang patut bagi
para aktor dalam merespons aturan dan kebiasaan internal.
Kemudian, institusi akan menyetir mereka dalam mendefinisikan
situasi, kinerja mereka, dan kewajiban-kewajiban sebagai anggota
parlemen. Pemenuhan kewajiban-kewajiban itu sulit dihindari dan sangat
mungkin kontras dengan pilihan-pilihan hati nurani mereka. Selain itu,
logika kesesuaian akan memaksa penerapan kerangka berpikir yang bersifat
adaptif terhadap situasi daripada beroposisi (March dan Olsen, 1989).
Dalam konteks tersebut, para legislator aktivis harus
menyesuaikan karakter institusi dengan mengadopsi aturannya dan
beraktivitas secara patut. Konsekuensinya, perilaku politik mereka di
parlemen harus ditempatkan dalam situasi keterbatasan
inisiatif-inisiatif personal dan berhadapan dengan tekanan-tekanan
institusi yang kuat.
Selain menghadapi DPR sebagai hambatan institusi, parpol sebagai
patron mereka dalam meraih kursi akan pula menuntut akuntabilitas
politik para legislator aktivis. Sejatinya, para legislator bertanggung
jawab secara individual terhadap konstituen yang telah memilih mereka.
Namun para legislator aktivis harus pula mematuhi kebijakan-kebijakan
parpol yang tentu saja tidak lepas dari kepentingan dan pertimbangan
politik.
Penggunaan hak angket untuk skandal Bank Century oleh DPR pada
2010 memberikan pelajaran berharga. Faktanya, banyak legislator tidak
berdaya menghadapi kebijakan parpol dan kepentingan strategis koalisi.
Mereka dibatasi dalam menyuarakan fakta-fakta kritis, karena tindakan
itu dianggap akan merugikan posisi patron mereka dalam ikatan koalisi.
Terakhir, para aktivis legislator harus pula berkonfrontasi
dengan situasi kinerja kolektif DPR yang jelek. Sebagaimana dirilis
secara terbuka, dalam rentang empat tahun (2009-2013), DPR hanya
berhasil mengesahkan 70 dari 257 rancangan undang-undang yang telah
masuk agenda program legislasi nasional.
Selain itu, catatan-catatan buruk para legislator saat ini bisa
saja mempengaruhi legislator aktivis. Misalnya, tingginya angka bolos
para legislator yang memicu keprihatinan publik. Lebih jelek lagi,
beberapa kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR menambah tekanan
ketidakpercayaan publik terhadap parlemen.
Karenanya, Pemilu 2014 bukanlah kompetisi yang bersahabat bagi
para caleg aktivis. Ada baiknya mereka tetap mendorong advokasi
eksternal daripada menerapkan metode yang kurang efektif sebagai pelaku
langsung (insider) untuk mentransformasi DPR. Para aktivis bisa saja
mendorong parpol untuk meningkatkan kualitas rekrutmen politiknya. Pun,
mereka bisa beraliansi dengan media massa untuk mengawasi kinerja
parlemen secara kritis dan simultan. *
Title
:
Ketika Caleg Aktivis Menjanjikan Reformasi DPR
Description
:
Secara bersamaan, sejumlah aktivis gerakan reformasi 1998 ikut masuk arena. Mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), Faisol Reza, me...