Belakangan ini, nama Jokowi dan Risma kembali mencuat. Dua orang pejabatpublik tersebut contoh pemimpin yang baik. Namun Wali Kota Risma sedang menghadapi masalah internal. Walaupun belum bisa dipastikankebenarannya, tekanan birokratis ada di balik wacana pengunduran diri Risma.
Tulisan ini tidak akan membahas tentang apa dan siapa di balik persoalantersebut. Namun tulisan ini akan mengungkap bahwa apa yang dilakukan Risma,dan mungkin juga Jokowi, tidak cukup untuk melakukan reformasi birokrasi. Salah satu agenda yang penting pasca-Reformasi 1998 adalah reformasibirokrasi. Sayangnya, tidak dirinci secara detail bagaimana melakukan haltersebut. Yang selama ini dilakukan adalah reformasi birokrasi yang sifatnyateknokratik. Proses pengambilan kebijakan yang transparan dan polapenganggaran yang partisipatif adalah contoh model tradisional dalam modelteknokrasi. Tapi, kenapa semua ini belum dirasa cukup untuk melakukanreformasi total?
Ada dua alasan yang akan diuraikan. Pertama, jabatan publik adalah juga jabatan politik. Artinya, pejabat harusmengakui bahwa dia akan melakukan pembenahan ke dalam instansipemerintahannya. Ini sudah terjadi, khususnya yang dilakukan Jokowi diJakarta. Namun, yang harus diingat, jabatan publik adalah juga bentukkompromi atas relasi kekuasaan. Relasi inilah yang sekarang ini berubah (dalam kasus Risma). Dukungan bisa berubah menjadi ancaman dan jugasebaliknya. Pengakuan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan ternyata belumcukup tanpa adanya penguatan dari aliansi pendukungnya. Aliansi ini bentuk nyata kemapanan relasi kekuasaan antara pejabat publik, partai politik,dan masyarakat sipil. Apabila peta aliansi berubah, maka jangan harapkekuasaan pejabat publik akan langgeng.
Kedua, kebijakan publik yang dikeluarkan tanpa menghitung kalkulasi ekonomi-politik justru akan menjadi bumerang bagi pejabat publik. Misalnya,kebijakan pengentasan masyarakat dari kemiskinan, peningkatan pelayanan publik,transparansi anggaran dan pengadaan barang, bisa jadi sebuah terobosan baru,namun bisa menjadi blunder apabila kebijakan ini mengesampingkan kekuatanekonomi-politik. Kekuatan ekonomi-politik di sini adalah pengusaha, cukong, danbroker yang selama ini menikmati keuntungan dari sistem lama yang korup. Bisajadi, kekuatan ini tidak hilang, namun sembunyi sementara untuk melihat kapanwaktu yang tepat untuk melakukan serangan balik.
Karena itu, perlu digagas ide baru tentang penyeimbangan kekuatan ekonomi-politik dan model teknokrasi yang selama ini berjalan tidak seiringDari dua alasan tersebut, tulisan ini ingin menggarisbawahi bahwa model penyelesaian teknokratik seperti yang sekarang dilakukan Jokowi dan Rismatidaklah cukup untuk melanggengkan program kerja
grosir sprei murah mereka yang sudah berjalanbaik. Perlu ada kalkulasi ulang dan pemetaan kembali peta relasikekuasaan yang dulu telah mendukung mereka mendapatkan jabatan publik.Sekaligus, mengakomodasi kepentingan mereka dalam proses pembuatan kebijakan(dengan catatan bahwa kepentingan mereka tidak berbenturan dengan kepentinganpublik).
Title
:
Tak Cukup dengan Teknokrasi
Description
:
Belakangan ini, nama Jokowi dan Risma kembali mencuat. Dua orang pejabatpublik tersebut contoh pemimpin yang baik. Namun Wali Kota Risma sed...